Ilmu Jiwa (Psikologi)

             A.     Pengertian ilmu jiwa atau psikologi
“psikologi” berasal dari perkataan yunani “psyche’ yang artinya jiwa,dan “logos”yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya,prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa.
Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia. Karena para ahli jiwa mempunyai penekanan yang berbeda, maka definisi yang dikemukakan juga berbeda-beda.
Diantara pengertian yang dirumuskan oleh para ahli itu antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut Dr. Singgih Dirgagunarsa:
Psikologi adalah ilmu yang mempelajaritingkah laku manusia
2.      Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa : psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
3.      John Broadus Watson, memandang psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku nampak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang obyektif terhadap rangsang dan jawaban (respon)
4.      Wilhelm Wundt, tokoh psikologi eksperimental berpendapat bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia.[1] 
               B.     Sejarah ilmu jiwa perkembangan
            Sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri,psikologi perkembangan telah melewati sejarah           yang cukup panjang. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai psikologi perkembangan, agaknya perlu dikemukakan latar belakang historis perkembangan dari disiplin ilmu tersebut. Dalam uraian berikut, sejarah ilmu jiwa perkembangan dibagi atas tiga periode, yaitu:
(1)   minat awal mempelajari perkembangan anak.
Jauh sebelum dilakukan studi ilmiah terhadap perkembangan anak, perhatian dan penyelidikan yang mendalam tentang anak-anak sedikit sekali dilakukan. Bahkan buku-buku khusus tentang perkembangan jiwa anak-anak belum ada. Pemahaman terhadap seluk beluk kehidupan anak sangat bergantung pada keyakinan tradisional yang bersumber dari spekulasi para filosof dan teolog. Salah seorang filosof yang banyak mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kehidupan anak adalah Plato.
 Menurut Plato, perbedaan-perbedaan individual mempunyai dasar genetis. Potensi individu ditentukan oleh faktor keturunan. Artinya, sejak lahir anak telah memiliki bakat-bakat atau benih-benih kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengasuhan dan pendidikan. Pada akhir abad ke- 17, seorang filosof inggris kenamaan, John Locke (1632- 1704) mengemukakan bahwa pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Ia tidak mengakui adanya kemampuan bawaan (innate knowledge). Sebaliknya menurut Locke, isi kejiwaan anak ketika dilahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong, dimana bentuk dan corak kertas tersebut nantinya sangat ditentukan oleh bagaimana bagaimana cara kertas itu ditulisi. Pandangan-pandangan John Locke ini kemudian ditentang oleh Jean Jacque Rousseau (1712- 1778), seorang filosof Perancis abad ke- 18. Pandangan Rousseau yang dikenal dengan istilah “noble savage” digolongkan sebagai pandangan yang beraliran “nativisme”. Sebaliknya pandangan Locke yang lebih mementingkan fktor pengalaman dan faktor lingkungan dikenal dengan aliran “empirisme” dan merupakan titik awal dari timbulnya “teori belajar” di kemudian hari. Kedua pandangan yang berlawanan ini, kemudian menjadi objek pembahasan dari banyak tokoh psikologi perekembangan. Oleh sebab itu, tidak heran kalau Locke dan Rousseau disebut sebagai pelopor pertama dalam psikologi anak.
(2)   dasar-dasar pembentukan psikologi perkembangan secara ilmiah.
Dalam periode ini, sumber penting untuk mempelajari anak adalah catatan- catatan harian mengenai perkembangan dan tingkah laku anak. Catatan-catatan yang ditulis ini dilakukan terhadap anak- anaknya sendiri.
Perhatian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan anak melalui observasi langsung baru dimulai pada abad ke- 19. Dalam hal ini dapat dicatat oleh dua tokoh yang cukup berpengaruh, yaitu Charles Darwin dan Wilhelm Wundt.
a.     Pengaruh Darwin (1809-1882)
Charles Darwin adalah seorang ilmuan Inggris yang terkenal dengan teori evolusinya. Tahun 1859 ia mempublikasikan karyannya yang berjudul Origin of the Species, dan Descent of Man tahun 1871. Karya Darwin ini ternyata merangsang untuk dilakukannya observasi langsung terhadap perkembangan anak. Dalam karangannya Darwin mengemukakan hasil pengamatan dan pencatatan terhadap anak laki-lakinya sendiri. Menurut Darwin, anak merupakan suatu sumber yang kaya akan informasi tentang sifat dan ciri-ciri manusia. Dengan mempelajari tingkah laku dan perkembangan anak, kita bisa mengetahui asal usul manusia. 
b.     Pengaruh Wundt (1832-1920)
Kejadian penting lain pada abad 19 adalah tumbuhnya psikologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri, yang ditandai dengan didirikannya laboratorium psikologi pertama di Leipzig tahun 1879 oleh Wilhem Wundt. Dia bernggapan bahwa eksperimen mempunyai arti penting bagi psikologi. Ia memberi dasar  ilmiah kepada psikologi eksperimental dan dengan teliti ia merumuskan syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah eksperimen. Menurut Wundt, lapangan di mana eksperimen dapat membuktikan kegunaannya adalah terutama lapangan pengamatan dan tanggapan.
(3)   munculnya studi psikologi perkembangan modern.
Studi sistematis tentang perkembangan anak mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada awal abad ke- 20. Penelitian- penelitian yang dilakukan pada zaman ini lebih bersifat deskriptif dan lebih dititikberatkan pada cirri- ciri khas yang terdapat secara umum, golongan- golongan umur serta masa- masa perkembangan tertentu. Kecenderungan untuk mendeskripsikan gejala- gejala perkembangan manusia secara hati-hati dan mendetail tersebut merupakan suatu tahap penting dalam perkembangan suatu disiplin ilmu. Meskipun ada pengaruh dari Watson, Freud dan tokoh-tokoh lainnya, namun sampai tahun 1930- an penelitian-penelitian di bidang psikologi perkembangan masih tetap bersifat deskriptif. Barangkali hal inilah yang menyebabkan berkurangnya minat terhadap psikologi perkembangan, yang ditandai dengan berkurangnya publikasi-publikasi yang berkaitan dengan topic-topik perkembangan hingga sekitar tahun 1939-1949. Tetapi penurunan itu ternyata hanya bersifat temporal, sebab sekitar tahun 1950- an psikologi perkembangan memasuki periode baru dalam baru dalam tahap perkembangan dan pertumbuhannya, dan hal ini terus berlangsung hingga sekarang.[2]
             C.     Pengertian ilmu jiwa perkembangan
       Para peneliti perkembangan menguji atau meneliti apa perkembangan itu dan mengapa perkembangan itu terjadi. Ada dua tujuan penelitian perkembangan, yaitu:
1.      Memberikan gambaran tentang tingkah laku anak yang meliputi pertanyaan-pertanyaan.
2.      Mengidentifikasi faktor penyebab dan proses yang melahirkan perubahan perilaku dari satu perkembangan ke perkembangan berikutnya.

 Berdasarkan pendapat beberapa orang ahli, psikologi perkembangan itu dapat di artikan sebagai berikut:
a.       “ …That branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of behavior”.
Maksudnya adalah psikoloi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu,baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku”(J.P.Chaplin,1979).
b.      Psikologi perkembangan merupakan “cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah lakudan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati” (Ross Vasta,dkk., 1992).[3]
c.       Menurut Linda L. Davidoff  (1991),psikologi perkembangan adalah cabang psikologi yang mempelajari perubahan dan perkembangan struktur jasmani, perilaku dan fungsi mental manusia, yang biasanya dimulai dari terbentuknya makluk itu melalui pembuahan hingga menjelang mati.
d.      Richard M. Lerner (1976) merumuskan psikologi perkembangan sebagai pengetahuan yang mempelajari persamaan dan perbedaan fungsi-fungsi psikologis sepanjang hidup.
Berdasarkan beberapa devinisi di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi perkembangan adalah cabang darimpsikologi yang mempelajari secara sistematis perkembangan perilaku manusia secara ontogenetic, yaitu mempelajari proses-proses
yang mendasari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri, baik perubahan dalam struktur jasmani, perilaku, maupun fungsi mental manusia sepanjang rentang hidupnya (life-span), yang biasanya dimulai sejak konsepsi hingga menjelang mati.[4]


[1] Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta : Rinekacipta, 1998),cet.2, hlm. 1- 4.
[2] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), cet.5, hlm. 13-18
[3] Dr. H. Syamsu Yusuf LN., M.Pd., Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), cet 10, hlm.3
[4] Ibid hlm. 3
readmore »»  

PENYUSUNAN INSTRUMEN PENILAIAN PEMBELAJARAN PAI


PENYUSUNAN INSTRUMEN PENILAIAN PEMBELAJARAN PAI

     A.     Menyusun Instrumen Penilaian Pengetahuan (Kognitif)
1.      Pengertian penilaian kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.  Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Ke enam jenjang yang dimaksud adalah pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
Pengetahuan (knowledge) adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Salah satu contohnya adalah peserta didik dapat menghafal surat al-‘Ashr, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru pendidikan agama islam di sekolah.
Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.
Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan yang lainnya. Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa dirumah, disekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.
Sintesis (synthesis) adalah suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur. Contohnya seperti peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah diajarkan oleh islam.
Penilaian (nevaluatio) merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang evaluasi adalah: peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan mudharat atau akibat-akibat negatif yang akan menimpa seseorang yang bersifat malas atau tidak disiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan penilaian, bahwa kwdisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan dalam sehari-hari.[1] Tujuan aspek kognitif  berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.[2]

2.      Contoh pengukuran ranah penilaian kognitif
Pengukuran hasil belajar ranah kognitif dilakukan dengan tes tertulis. Bentuk tes kognitif diantaranya adalah tes atau pertanyaan lisan di kelas, pilihan ganda, uraian obyektif, uraian non obyektif atau uraian bebas, jawaban atau isian singkat, menjodohkan, portopolio dan performans.

B.     Menyusun Instrumen Penilaian Psikomotorik
1.      Pengertian Penilaian Psikomotorik
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku).
Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektif dengan materi kedisiplinan menurut agama Islam sebagaimana telah dikemukakan pada pembicaraan terdahulu, maka wujud nyata dari hasil psikomotorik yang  merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif afektif itu adalah; (1) peserta didik bertanya kepada guru pendidikan agama Islam tentang contoh-contoh kedisiplinan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, para ulama dan lain-lain; (2) peseta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan; (3) peserta didik dapat memberikan penjelasan kepada teman-teman sekelasnya di sekolah, atau kepada adik-adiknya di rumah atau kepada anggota masyarakat lainnya, tentang kedisiplinan diterapkan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat; (4) peserta didik menganjurkan kepada teman-teman sekolah atau adik-adiknya, agar berlaku disiplin baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat; (5) peserta didik dapat memberikan contoh-contoh kedisiplinan di sekolah, seperti datang ke sekolah sebelum pelajaran di mulai, tertib dalam mengenakan seragam sekolah, tertib dan tenag dalam mengikuti pelajaran, di siplin dalam mengikuti tata tertib yang telah ditentukan oleh sekolah, dan lain-lain; (6) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di rumah, seperti disiplin dalam belajar, disiplin dalam mennjalannkan ibadah shalat, ibadah puasa, di siplin dalam menjaga kebersihan rumah, pekarangan, saluran air, dan lain-lain; (7) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti menaati rambu-rambu lalu lintas, tidak kebut-kebutan, dengan suka rela mau antri waktu membeli karcis, dan lain-lain.[3]

2.         Contoh pengukuran ranah penilaian psikomotor
               Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui (1) pengamatan langsung (observasi) dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
              Penilaian ini dapat dilakukan pada saat proses berlangsung yaitu pada waktu peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses berlangsung dengan cara mengetes peserta didik.[4]

C.     Menyusun Instrumen Penilaian Sikap
1.      Pengertian Penilaian Afektif
Penilaian sikap adalah penilaian terhadap perilaku dan keyakinan siswa terhadap suatu objek, fenomena atau masalah.[5] Ranah afektif merupakan ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.[6]
Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Ada tiga komponen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek yang dihadapinya. Afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tersebut. Oleh sebab itu, sikap selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu.
Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dan perlu lembar pengamatan.[7]
Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah:
menerima (receiving) : jenjang ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut dalam stimuli khusus (kegiatan dalam kelas, baca buku, dan sebagainya). Dipandang dari segi pengajaran, jenjang ini berhubungan dengan menimbulkan atau mengarahkan perhatian siswa. Contohnya seperti senang membaca puisi, sering mendengarkan musik.
menjawab  (responding) : kemampuan ini bertalian dengan partisipasi siswa. Hasil belajar dalam jenjang ini dapat menekankan kemauan untuk menjawab. Contohnya seperti mengerjakan tugas, menaati peraturan dan sebagainya.
menilai (valuing) : jenjang ini bertalian dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena, atau tingkah laku tertentu. Contohnya seperti menunjukkan alasan, dan lain-lain.
 organisasi (organisation) : tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antara nilai-nilai itu, dan mulai membentuk suatu system nilai yang konsisten secara internal. Contohnya seperti objektif dalam menyelesaikan masalah.
 karakteristik dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization by a value or value complex) : pada jenjang ini individu memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik. Contohnya seperti mengamati tingkah laku siswa selama mengikuti proses belajar mengajar berlangsung.[8]
2.      Contoh pengukuran ranah penilaian afektif

Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dan perlu lembar pengamatan.

  
ANALISIS

Dari pengertian-pengertian penyusunan instrument penilaian pembelajaran PAI yang telah dibahas, dapat dianalisis bahwa ketiga aspek penilaian yaitu kognitif atau pengetahuan, psikomotorik atau ketrampilan, dan afektif atau sikap ini tidak bisa dipisahkan dari kegiatan proses belajar mengajar, maka ketiga aspek tersebut  kemudian dikaitkan dengan instrument atau alat yang digunakan dalam proses penilaian pembelajaran PAI, agar seorang pendidik dapat mengetahui seberapa besar tingkat keberhasilan atau ketercapaian  siswa dalam proses kegiatan pembelajaran. Adapun indikator dari penyusunan  instrument yang digunakan dalam penilaian ranah kognitif, psikomotorik dan afektif adalah seperti contoh  berikut:
·        Penilaian kognitif atau pengetahuan yang menyangkut mental (otak) atau kemampuan berfikir  ini  kita terapkan terhadap peserta didik pada pembelajaran PAI, seperti materi al-Quran Hadits dengan teknik menghafal. Contoh menghafal surat-surat pendek, seperti surat al-Ashar
·        Penilaian psikomotorik atau ketrampilan yang menyangkut kemampuan bertindak setelah menerima pengalaman belajar tertentu. Di dalam analisis ini kita terapkan terhadap peserta didik pada pembelajaran PAI, seperti materi Aqjdah Akhlaq dengan praktik langsung,
·        Penilaian Afektif





[1] Prof. Drs. Anas Sudijono,  Pengantar Evaluasi Pendidikan, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 48-52.
[2] www. Zaifbio. Com.
[3] Prof. Drs. Anas Sudijono, Op.cit., hlm. 57-59
[4] Anonymous. 2009. “Penilaian Ranah Psikomotorik Siswa”. (Online)http://delapanratus.blogspot.com/2009/04/penilaian-ranah-psikomotorik-siswa.html. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
[5] Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran  Berbasis Kompetensi Dan Kontekstual, (Jakarta : PT. Bumi Akasara, 2009), cet. 5. Hlm. 125.
[6] Prof. Drs. Anas Sudijono, Op.cit., hlm. 54.
[7] www. Zaifbio. Com.
[8] Drs. H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), cet. 5, hlm. 117-118.
readmore »»  

Ushul Fiqh : Ijma dan Qiyas


          Pengertian Ijma dan Qiyas

1.      Pengertian ijma
Ijma didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad SAW  tentang suatu masalah hukum islam. Menurut defenisi ini, rujukan kepada Mujtahid menyampingkan kesepakatan orang-orang awam dari lingkup ijma. Demikian halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu periode, berarti periode dimana ada sejumlah mujtahid pada waktu terjadinya  suatu peristiwa. Oleh karena itu,tidak diperhitungkan sebagai ijma apabila seorang mujtahid  atau sejumlah mujtahid baru muncul setelah terjadinya peristiwa itu.
Jadi ijma hanya dapat terjadi setelah wafatnya nabi, karena selama masih hidup, nabi sendirilah yang memegang otoritas tertinggi  atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau ketidak kesepakatan orang lain tidak mempengaruhi otoritasnya.[1]
            Menurut imam Al- syafi’I, pada pokoknya ijma’ adalah kesepakatan para ulama (ahl al- ‘ilm) tentang suatu hukum syariah. Ahl al- ‘ilm yang dimaksudkannya ialah para ulama yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta keputusannya diterima oleh penduduk di suatu negeri.

2.      Pengertian qiyas
            Secara harfiyah qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Dengan demikian, qiyas memberi kesan kesamaan kemiripan antara dua hal yang salah satunya  dipakai sebagai kriteria untuk mengukur yang lain.
Dari segi teknis, merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus asal, atau asal kepada kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai kausa(I’llat) yang sama dengan yang disebut  pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru[2].
Adapun pengertian qiyas menurut imam Syafi’I yaitu menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nas (al- qur’an dan al- hadis) kepada sesuatu yang disebutkan hukumnya karena serupa maknanya makna hukum yang disebutkan nas.

     Batasan ijma dan qiyas
1.       Menurut Al-Syafi’I ijma’ hanya terjadi pada masalah-masalah yang bersifat ma’lum minaddin biddoruroh dalam arti masalah-masalah yang harus diketahui oleh seluruh lapisan umat islam. Seperti masalah kewajiban sholat.
2.       Adapun qiyas hanya terjadi pada masalah- masalah furu’iyyah seperti masalah Pemukulan terhadap orang tua. Sementara itu Al- Ghazali mengemukakan semacam perbedaan antara mu’amalat dan ibadat; bahwa dalam mu’amalat maslahat selalu dapat ditangkap, sedangkan bidang ibadat umumnya bersifat tahakkum (semata- mata diatur atas kehendak Allah), dan hikmah (luthf) yang dikandungnya tidak mudah ditangkap. Itulah sebabnya, Al- Syafi’I menahan diri, tidak melakukan qiyas pada bidang ibadat, kecuali bila maknanya benar- benar nyata.[3]

Kehujjahan ijma dan qiyas
1.      Kehujjahan ijma
Al- Syafi’I menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti, serta berlaku secara luas, pada semua bidang. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatunya karna ijma’ itu tidak mungkin salah. Sesuatu yang telah disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan dalil kitab atau sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata- mata bersumber dari ra’yu (pendapat), karena ra’yu akan selalu berbeda- beda.
 Secara berhati- hati, al- Syafi’I menegaskan bahwa ijma’yang tidak didukung oleh hadis, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan hadis. Jadi, dalam hal ini, kesepakatan mereka itulah yang diikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat hadis, tentu ada di antara mereka yang mengetahuinya dan tidak mungkin mereka semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW atau sepakat atas sesuatu yang salah.
Untuk menegakkan ke- hujjah- an ijma itu, al- syafi’I mengemukakan ayat,Q. S. Al- Nisa’: 115. Ayat ini  menyatakan ancaman terhadap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin. Menurut al- syafi’I, orang yang tidak mengikuti ijma’ berarti telah mengikuti jalan lain, selain jalan orang mukmin. Jadi, orang yang tidak mengikuti ijma’ mendapat ancaman dari Allah SWT. Dengan demikian, jelaslah bahwa ijma’ wajib diikuti dan karena itu ijma’ adalah hujjah.[4]

2.        Kehujjahan Qiyas
Sekalipun tidak terdapat otoritas yang jelas bagi qiyas didalam al- qur’an tetapi ulama- ulama dari mazhab sunni telah mengesahkan qiyas dan mengutip berbagai ayat Qur’an untuk mendukung pendapat mereka. Oleh karena itu, rujukanah surah al- Nisa (4: 59) yang memberikan pesan kepada orang- orang yang beriman: apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul,jika kamu beriman kepada Allah.
Pendukung- pendukung qiyas ini berargumentasi bahwa suatu perselisihan hanya dapat dirujuk kepada Allah dan Rasul dengan mengikuti tanda-  tanda dan indikasi- indikasi yang kita temukan dalam al- Qur’an dan sunnah. satu- satunya cara untuk mencapai hal ini adalah dengan mengidentifikasi alasan ahkam dan menerapkannya kepada persoalan- persoalan yang yang dipertentangkan,dan ini adalah qiyas..
Jalan penalaran yang sama diterapkan dalam surah al- Nisa (4: 105) yang menyatakan: kami menurunkan kepadamu kitab dengan membawa kebenaran sehingga kamu dapat mengadili di antara pihak- pihak dengan apa yang diturunkan kepadamu. Qur’an sering mengindikasikan alasan hukum- hukumnya baik secara eksplisit maupun implisit atau dengan merujuk kepada tujuan- tujuannya.
 Qur’an memberikan indikasi- indikasi yang jelas yang meminta digunakannya qiyas. Ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam nas, maka qiyas harus digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan umum dari pemberi hukum. Karena itu dapat disimpulkan bahwa indikasi alasan- alasan, tujuan, kesamaan dan perbedaan- perbedaan adalah tidak berarti apabila hal itu tidak diteliti dan diikuti sebagai pedoman dalam menentukan hukum.[5]

Prosedur ijma dan qiyas
1.      Prosedur ijma
Dalam masalah- masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al- qur’an ataupun sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi kebebasan,bahkan keharusan untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya masing- masing. Lebih lanjut, fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah- masalah tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulama yang datang kemudian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi dalam kasus- kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing- masing, seluruh ulama sampai pada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya.
Adapun prosedur ijma’ meliputi rukun- rukunnya sebagai berikut:
a.    Adanya semua ahli ijtihad ketika terjadinya suatu kejadian, karena kebulatan pendapat tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pendapat yang masing- masing terdapat persesuaian.
b.    Kebulatan pendapat ahli ijtihad itu diiringi dengan pendapat- pendapat mereka masing- masing secara jelas mengenai kejadian, baik yang dikemukakan secara qauli (perkataan), maupun secara fi’li (perbuatan). Secara qauli misalnya memberikan fatwa tentang suatu kejadian, sedangkan secara fi’li, misalnya menetapkan keputusan tentang suatu kejadian atau mengemukakan secara
c.   pribadi dan setelah pendapat- pendapat mereka terkumpul tampak melahirkan kebulatan pendapat sepakat atau menampilkan pendapatnya secara kelompok, maka terdapatlah ijma’.
d.      Kesepakatan para ahli ijtihad itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, apabila sebagian para ahli ijtihad telah mengadakan kesepakatan. Dan adakalanya ijma’ itu tidak  dapat ditetapkan dengan jumlah kesepakatan mayoritas, manakala jumlah yang tidak sependapat itu minoritas dan jumlah yang sepakat mayoritas. dengan demikian berarti masih ada perbedaan pendapat yang mungkin salah pada satu pihak, dan benar dipihak lain.maka kebulatan pendapat dari mayoritas tidak dapat dijadikan hujjah secara pasti yang kuat.[6]
Dari segi cara terjadinya, ijma dibagi ke dalam dua jenis:
1.       Ijma eksplisit (al- ijma al- sarih), dimana setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun perbuatan.
2.       Ijma diam- diam (al- ijma al- sukuti), dimana beberapa mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat tentang suatu peritiwa sementara yang lain tetap diam.

2.        Prosedur  qiyas
Al- qiyas terbentuk oleh beberapa unsur yang saling berkaitan. Unsur- unsur qiyas dikalangan ulama ushul dikenal dengan sebutan arkan al- qiyas yang terdiri dari:
1.Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan musyabbah bih (tempat menyerupakan)
2.Far’un (cabang), yang diukur musyabbah (yang diserupakan)
3. kausa (‘illat), yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
4. ketentuan(Hukm),yang diterapkan pada far’I sesudahnya tetap pada ashal.[7]
  
Qiyas dalam penetapan hukum
Al- qiyas merupakan metode ijtihad dan sarana penggalian (istinbat) hukum bagi peristiwa yang tidak disebut secara tegas (sarih) dalam nas, qiyas sangat berperan dalam mengungkapkan hukum peristiwa yang tidak disebutkan dalam nas. Oleh karena setiap peristiwa tersebut tidak terlepas dari adanya ketentuan hukum tetapi tidak dijelaskan al- Qur’an atau al- Sunnah,maka harus dicari dalam al- Qur’an atau sunnah dengan menggunakan qiyas. qiyas berperan besar dalam menggali hukum bagi peristiwa baru yang dihadapi kaum muslimin, namun dalam pandangan imam Syafi’I hasil (pengetahuan hukum) yang diungkapkan al- qiyas tidak sama peringkatnya dengan (pengetahuan) hukum yang diperoleh secara sarih dari al- qur’an atau al- sunnah.
Kedudukan hasil qiyas lebih rendah dari pengetahuan hukum secara sarih dari al- Qur’an atau sunnah ataupun ijma, karena pengetahuan hukum yang diperoleh al- qiyas hanya benar secara lahir (menurut apa yang dicapai oleh kemampuan nalar mujtahid) yang tidak aman dari pengaruh subjektivitas.
Pengetahuan hukum itu diperoleh dari bebrapa segi, pertama pengetahuan yang benar lahir batin, adapula pengetahuan yang bersumber dari ijma, dan pengetahuan hukum yang bersumber dari ijtihad dengan Qiyas mencari kebenaran. Pengetahuan ini dinilai benar bagi pelaku Qiyas yang bersangkutan dan tidak mesti dipandang benar oleh mujtahid lain. Sebab, hanya Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi. 
Dan praktek al- qiyas diletakkan oleh imam syafi’I dalam kategori pengetahuan hukum secara lahir, artinya yang hakikatnya hanya diketahui Allah. Oleh karena itu, memberi peluang besar untuk berbeda pendapat. Mengingat kedudukan pengetahuan hukum yang dihasilkan oleh qiyas berkekatan zanni (diduga kuat kebenarannya), maka tidak harus menghasilkan kesepakatan pendapat. Karena qiyas bersifat zanni, maka ia dapat dikaji ulang oleh pelaku qiyas brsangkutan, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pendapat (salah satu aspek pembaharuan hukum).[8]



DAFTAR PUSTAKA

Ø      Dr. H. Abdullah, Sulaiman. 1996. Dinamika qias dalam pembaharuan hukum islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Ø      Drs. H.Rifai, Muhammad. 1988. Ushul fiqih. Semarang: Wicaksana
Ø      Dr. Hasyim Kamali, Muhammad. 1996. Prinsip dan teori-teori hukum islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Ø      Dr. nasution, lahmuluddin. 2001. Pembaharuan hukum islam. Bandung:  PT Remaja Rodakarya




[1] DR. Muhammad Hashim Kamali, prinsip dan teori- teori hukum islam, Yogyakarta: pustaka pelajar offset, 1996, hal. 219- 220.
[2] Ibid., hal. 255- 256
[3] DR. Lahmunuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam, Bandung:PT Remaja Rosdakarya,  2001, Hal.
[4] Ibid., hal
[5] Dr. Muhammad hasyim kamali, prinsip dan teori-teori hukum islam, yoyakarta; pustaka pelajar offset, 1996, hal. 53
[6] Drs. H. moh. Rifai, ushul fiqih, semarang; wicaksana, 1998, hal. 47-48
[7] Ibid. hal 54-55
[8] Dr.H. sulaiman Abdullah, dinamika qiyas dalam pembaharuan hukum islam,Jakarta; pedoman ilmu jaya, 1996, hal. 99-102
readmore »»