Aliran Asy'ariyah dan Al Mathuridiyah




             Aliran Asy’ariah

A.    Sejarah lahirnya aliran Asy’ariah.
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari. Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, ketidak puasan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah
B.     Ajaran pokok aliran Asy’ariah

1.      Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Pendapatnya terletak di tengah – tengah antara mu’tazilah, hasywiah, dan mujassimah. Mu’tazilah tidak mengakui sifat – sifat wujud, qidam, baqo’, dan wahdaniyah. Sifat zat yang lain, seperti sama’, basyar, dan lain – lain tidak lain hanya Dzat Allah sendiri. Sedangkan hasywiah dan mujassimah mempersamakan sifat – sifat Allah dengan sifat makhluk. Al – Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat – sifat tuhan yang tersebut sesuai dengan Dzat tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat – sifat makhluk. Allah mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.[1] 
2.      Kebebasan dalam berkehendak
Dalam kebebasan berkehendak, al-Asy’ary membedakan anta ra
khaliqdan kasb. Menurutnya, Allah adalah Khaliq (pencipta) perbuatan manusia, tetapi manusia lah yang mengupayakannaya (muktasib).
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik-buruk
Al-Asy’ary mengutamakan wahyu dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontadiktif antara akal dan wahyu.
4.      Qadimnya al-Quran
Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata- kata, huruf, dan bunyi, semuanya tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Namun, bagi al-Asy’ary al-Quran tidaklah diciptakan.

5.      Melihat Allah
Al-Asy’ary yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana dia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6.      Keadilan
Allah adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan apapun.
7.      Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa kecuali kufur.[2]

C.     Tokoh-Tokoh Dan Ajaran-Ajarannya

1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
           Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi. Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.

2. Abd al-Malik al-Juwaini
          Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
         Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.

                 Aliran Maturidiyah 
                A.    Latar belakang lahirnya aliran Maturidiyah.

      Sejarah timbulnya aliran maturidiyah sama halnya dengan aliran – aliran yang lainya dalam teologi Islamyaitu merupakan rentetan dari aliran teologi sebelumnya. Aliran Mu’tazilah yang becorak rasionalisme telah mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama dari golongan madzhab  Hambali, sehingga politik kekerasan yang dilakukan Mu’tazilah berkurang, apalagi setelah meninggalnya Al Ma’mun yaitu putra darikholifah Harun Ar –Rosyid yang telah menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi yang dianut Negara, sehingga Mu’tazilah dalam menyiarkan ajaranya bersifat memaksa.
      Aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi dibatalkan oleh kholifah Al – Mutawawakil pada tahun 856 M, dengan pembatalan itu  Mu’tazilah kembali pada kedudukanya saat mendapat tantangan dari umat Islam. Yang diawali oleh Abu Hasan Al – Asy’ari ( 935 M ) dengan Aliranya yang disebut Asy’ariah. Sementara itu di Samarkand timbul pula Aliran yang didirikan oleh Abu Mansyur Muhammad Al – Maturidi yang lahir di desa Maturid sekitar pertengahan abad 3 Hijriyah dan meninggal di Samarkand Th. 332 H atau 944 M dan aliran ini dikenal dengan nama Al – Maturidiyah. Aliran Maturidiyah dalam pahamnya tidak se-tradisional Ays’ariah, akan tetapi juga tidak se-liberal Mu’tazilah, jelasnya Abu Hasan – Asy’ari dan Abu Mansyur Al – Maturidi sebagai aliran penantang terhadap aliran Mu’tazilah. Keduanya juga disebut dengan Ahlusunnah wal Jamaah. Aliran Maturidiyah banyak dianut umat Islam yang bermadzhab Hanafi, sedangkan Asy’ariah banyak dianut umat Islam Sunni lainya.[3]

B.     Pokok – pokok ajaran Maturidiyah

1.      Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah SWT)
2.      Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal.
3.      Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
      Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahNya.
C.     Golongan dalam aliran Maturidiyah
1.      Golongan Samarkand
      Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.      Golongan Bukhara
      Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi tidak selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab  Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.[4]

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung : CV. Pustaka Setia 1998.
Jurnal IQRA, Vol. 4, No. 2, Juli 2008
Rozak, Abdul  Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007
          Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru. 2003


[1]               .A. Hanafi.  Pengantar Teologi Islam, hal : 133
[2]               . Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007 hal. 121
[3]               . Jurnal IQRA, Vol. 4, No. 2, Juli 2008, hal 264 - 272
[4]               . Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung : CV. Pustaka Setia 1998. Hal 190 -191

0 comments: