Pengertian
Ijma dan Qiyas
1.
Pengertian ijma
Ijma didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim
dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad SAW tentang suatu masalah hukum islam. Menurut
defenisi ini, rujukan kepada Mujtahid menyampingkan kesepakatan orang-orang
awam dari lingkup ijma. Demikian halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu
periode, berarti periode dimana ada sejumlah mujtahid pada waktu
terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena
itu,tidak diperhitungkan sebagai ijma apabila seorang mujtahid atau sejumlah mujtahid baru muncul setelah
terjadinya peristiwa itu.
Jadi
ijma hanya dapat terjadi setelah wafatnya nabi, karena selama masih hidup, nabi
sendirilah yang memegang otoritas tertinggi
atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau ketidak kesepakatan orang lain
tidak mempengaruhi otoritasnya.[1]
Menurut
imam Al- syafi’I, pada pokoknya ijma’ adalah kesepakatan para ulama (ahl al- ‘ilm) tentang suatu hukum syariah.
Ahl al- ‘ilm yang dimaksudkannya ialah para ulama yang dianggap sebagai faqih
dan fatwa serta keputusannya diterima oleh penduduk di suatu negeri.
2.
Pengertian qiyas
Secara harfiyah qiyas bermakna
mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Dengan demikian,
qiyas memberi kesan kesamaan kemiripan antara dua hal yang salah satunya dipakai sebagai kriteria untuk mengukur yang
lain.
Dari
segi teknis, merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus asal,
atau asal kepada kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai kausa(I’llat) yang sama dengan yang disebut pertama.
Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan
tekstual tersebut kepada kasus yang baru[2].
Adapun
pengertian qiyas menurut imam Syafi’I yaitu menghubungkan sesuatu yang tidak
disebutkan nas (al- qur’an dan al- hadis) kepada sesuatu yang disebutkan
hukumnya karena serupa maknanya makna hukum yang disebutkan nas.
Batasan ijma dan qiyas
1.
Menurut
Al-Syafi’I ijma’ hanya terjadi pada masalah-masalah yang bersifat ma’lum minaddin biddoruroh dalam arti
masalah-masalah yang harus diketahui oleh seluruh lapisan umat islam. Seperti
masalah kewajiban sholat.
2.
Adapun
qiyas hanya terjadi pada masalah- masalah furu’iyyah seperti masalah Pemukulan
terhadap orang tua. Sementara itu Al- Ghazali mengemukakan semacam perbedaan
antara mu’amalat dan ibadat; bahwa dalam mu’amalat maslahat selalu dapat
ditangkap, sedangkan bidang ibadat umumnya bersifat tahakkum (semata- mata diatur atas kehendak Allah), dan hikmah (luthf) yang dikandungnya tidak mudah
ditangkap. Itulah sebabnya, Al- Syafi’I menahan diri, tidak melakukan qiyas
pada bidang ibadat, kecuali bila maknanya benar- benar nyata.[3]
Kehujjahan
ijma dan qiyas
1. Kehujjahan
ijma
Al- Syafi’I menegaskan bahwa
ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti, serta berlaku secara luas, pada semua
bidang. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa ijma’ adalah hujjah atas segala
sesuatunya karna ijma’ itu tidak mungkin salah. Sesuatu yang telah disepakati
oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan dalil kitab atau
sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur berdasarkan sunnah yang
telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas suatu hukum menunjukkan bahwa
hukum itu tidak semata- mata bersumber dari ra’yu (pendapat), karena ra’yu akan
selalu berbeda- beda.
Untuk menegakkan ke- hujjah-
an ijma itu, al- syafi’I mengemukakan ayat,Q. S. Al- Nisa’: 115. Ayat ini menyatakan ancaman terhadap orang yang
mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin. Menurut al- syafi’I,
orang yang tidak mengikuti ijma’ berarti telah mengikuti jalan lain, selain
jalan orang mukmin. Jadi, orang yang tidak mengikuti ijma’ mendapat ancaman
dari Allah SWT. Dengan demikian, jelaslah bahwa ijma’ wajib diikuti dan karena
itu ijma’ adalah hujjah.[4]
2. Kehujjahan
Qiyas
Sekalipun tidak terdapat otoritas yang
jelas bagi qiyas didalam al- qur’an tetapi ulama- ulama dari mazhab sunni telah
mengesahkan qiyas dan mengutip berbagai ayat Qur’an untuk mendukung pendapat
mereka. Oleh karena itu, rujukanah surah al- Nisa (4: 59) yang memberikan pesan
kepada orang- orang yang beriman: apabila
kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul,jika
kamu beriman kepada Allah.
Pendukung- pendukung qiyas ini
berargumentasi bahwa suatu perselisihan hanya dapat dirujuk kepada Allah dan
Rasul dengan mengikuti tanda- tanda dan
indikasi- indikasi yang kita temukan dalam al- Qur’an dan sunnah. satu- satunya
cara untuk mencapai hal ini adalah dengan mengidentifikasi alasan ahkam dan
menerapkannya kepada persoalan- persoalan yang yang dipertentangkan,dan ini
adalah qiyas..
Jalan
penalaran yang sama diterapkan dalam surah al- Nisa (4: 105) yang menyatakan: kami menurunkan kepadamu kitab dengan
membawa kebenaran sehingga kamu dapat mengadili di antara pihak- pihak dengan
apa yang diturunkan kepadamu. Qur’an sering mengindikasikan alasan hukum-
hukumnya baik secara eksplisit maupun implisit atau dengan merujuk kepada
tujuan- tujuannya.
Prosedur
ijma dan qiyas
1. Prosedur
ijma
Dalam masalah- masalah yang tidak diatur
secara tegas dalam Al- qur’an ataupun sunnah, sehingga hukumnya harus dicari
melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan
ini, para mujtahid diberi kebebasan,bahkan keharusan untuk bertindak atau
berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya masing- masing. Lebih lanjut,
fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah- masalah tersebut tetap
terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulama yang datang kemudian dan orang awam
bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi
dalam kasus- kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan
masing- masing, seluruh ulama sampai pada kesimpulan yang sama sehingga
terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya.
Adapun prosedur ijma’ meliputi rukun-
rukunnya sebagai berikut:
a. Adanya
semua ahli ijtihad ketika terjadinya suatu kejadian, karena kebulatan pendapat
tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pendapat yang masing- masing
terdapat persesuaian.
b. Kebulatan
pendapat ahli ijtihad itu diiringi dengan pendapat- pendapat mereka masing-
masing secara jelas mengenai kejadian, baik yang dikemukakan secara qauli (perkataan), maupun secara fi’li (perbuatan). Secara qauli misalnya
memberikan fatwa tentang suatu kejadian, sedangkan secara fi’li, misalnya
menetapkan keputusan tentang suatu kejadian atau mengemukakan secara
c. pribadi
dan setelah pendapat- pendapat mereka terkumpul tampak melahirkan kebulatan
pendapat sepakat atau menampilkan pendapatnya secara kelompok, maka terdapatlah
ijma’.
d. Kesepakatan
para ahli ijtihad itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, apabila sebagian para
ahli ijtihad telah mengadakan kesepakatan. Dan adakalanya ijma’ itu tidak dapat ditetapkan dengan jumlah kesepakatan
mayoritas, manakala jumlah yang tidak sependapat itu minoritas dan jumlah yang
sepakat mayoritas. dengan demikian berarti masih ada perbedaan pendapat yang
mungkin salah pada satu pihak, dan benar dipihak lain.maka kebulatan pendapat
dari mayoritas tidak dapat dijadikan hujjah secara pasti yang kuat.[6]
Dari segi cara terjadinya, ijma dibagi ke
dalam dua jenis:
1.
Ijma
eksplisit (al- ijma al- sarih), dimana setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya
baik secara lisan maupun perbuatan.
2.
Ijma
diam- diam (al- ijma al- sukuti), dimana beberapa mujtahid suatu masa
mengemukakan pendapat tentang suatu peritiwa sementara yang lain tetap diam.
2.
Prosedur qiyas
Al- qiyas terbentuk oleh beberapa unsur
yang saling berkaitan. Unsur- unsur qiyas dikalangan ulama ushul dikenal dengan
sebutan arkan al- qiyas yang terdiri dari:
1.Ashal
(pangkal) yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan musyabbah bih (tempat
menyerupakan)
2.Far’un
(cabang), yang diukur musyabbah (yang diserupakan)
3. kausa (‘illat), yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
4. ketentuan(Hukm),yang diterapkan pada far’I sesudahnya tetap pada ashal.[7]
Qiyas
dalam penetapan hukum
Al- qiyas merupakan metode ijtihad dan
sarana penggalian (istinbat) hukum
bagi peristiwa yang tidak disebut secara tegas (sarih) dalam nas, qiyas sangat berperan dalam mengungkapkan hukum
peristiwa yang tidak disebutkan dalam nas. Oleh karena setiap peristiwa
tersebut tidak terlepas dari adanya ketentuan hukum tetapi tidak dijelaskan al-
Qur’an atau al- Sunnah,maka harus dicari dalam al- Qur’an atau sunnah dengan
menggunakan qiyas. qiyas berperan besar dalam menggali hukum bagi peristiwa
baru yang dihadapi kaum muslimin, namun dalam pandangan imam Syafi’I hasil
(pengetahuan hukum) yang diungkapkan al- qiyas tidak sama peringkatnya dengan
(pengetahuan) hukum yang diperoleh secara sarih dari al- qur’an atau al-
sunnah.
Kedudukan hasil qiyas lebih rendah dari
pengetahuan hukum secara sarih dari al- Qur’an atau sunnah ataupun ijma, karena
pengetahuan hukum yang diperoleh al- qiyas hanya benar secara lahir (menurut
apa yang dicapai oleh kemampuan nalar mujtahid) yang tidak aman dari pengaruh
subjektivitas.
Pengetahuan hukum itu diperoleh dari
bebrapa segi, pertama pengetahuan yang benar lahir batin, adapula pengetahuan yang
bersumber dari ijma, dan pengetahuan hukum yang bersumber dari ijtihad dengan
Qiyas mencari kebenaran. Pengetahuan ini dinilai benar bagi pelaku Qiyas yang
bersangkutan dan tidak mesti dipandang benar oleh mujtahid lain. Sebab, hanya
Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi.
Dan praktek al- qiyas diletakkan oleh
imam syafi’I dalam kategori pengetahuan hukum secara lahir, artinya yang
hakikatnya hanya diketahui Allah. Oleh karena itu, memberi peluang besar untuk
berbeda pendapat. Mengingat kedudukan pengetahuan hukum yang dihasilkan oleh
qiyas berkekatan zanni (diduga kuat kebenarannya), maka tidak harus
menghasilkan kesepakatan pendapat. Karena qiyas bersifat zanni, maka ia dapat
dikaji ulang oleh pelaku qiyas brsangkutan, sehingga memungkinkan terjadinya
perubahan pendapat (salah satu aspek pembaharuan hukum).[8]
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Dr.
H. Abdullah, Sulaiman. 1996. Dinamika
qias dalam pembaharuan hukum islam. Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya
Ø
Drs.
H.Rifai, Muhammad. 1988. Ushul fiqih.
Semarang :
Wicaksana
Ø
Dr.
Hasyim Kamali, Muhammad. 1996. Prinsip
dan teori-teori hukum islam. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset
Ø
Dr.
nasution, lahmuluddin. 2001. Pembaharuan
hukum islam. Bandung : PT Remaja Rodakarya
[1]
DR. Muhammad Hashim Kamali, prinsip dan teori- teori hukum islam, Yogyakarta : pustaka pelajar offset, 1996, hal. 219- 220.
[2]
Ibid., hal. 255- 256
[4]
Ibid., hal
[5]
Dr. Muhammad hasyim kamali, prinsip dan teori-teori hukum islam, yoyakarta;
pustaka pelajar offset, 1996, hal. 53
[6]
Drs. H. moh. Rifai, ushul fiqih, semarang ;
wicaksana, 1998, hal. 47-48
[7]
Ibid. hal 54-55
[8]
Dr.H. sulaiman Abdullah, dinamika qiyas dalam pembaharuan hukum islam,Jakarta ; pedoman ilmu
jaya, 1996, hal. 99-102
0 comments:
Post a Comment